I. Pendahuluan
Terompong Beruk adalah satu alat musik tradisional Bali yang sangat sederhana. Mengapa diberi nama Terompong Beruk?. Sebenarnya yang namanya terompong adalah salah satu bagian dari satu barung (seperangkat) gamelan gong, yang dibuat dari perunggu, dimana benjolnya kalau dipukul akan mengeluarkan suara yang merdu sesuai dengan nada yang telah diatur sedemikian rupa. Sedangkan Terompong Beruk bukan dibuat dari perunggu melainkan dari bilah – bilah kayu Lekukun dimana suara masing – masing bilah diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan nada terompong yang sesungguhnya. Agar suara yang dihasilkan mampu mengalun (bergema), maka dibawah – bilah kayu tersebut dipasangkan / digantungkan beruk (batok kelapa) yang besarannya diatur, disesuaikan dengan nada bilah di atasnya. Itulah sebabnya terompong yang dibuat dari bilah – bilah kayu ini diberi nama “Terompong Beruk”.
Untuk mendapatkan satu barung (satu perangkat lengkap) Terompong Beruk maka dilengkapi lagi dengan Gangsa, Curing, Riong, Jublag, Kemplung, Kempli, dll. yang juga dibuat dari bilah – bilah kayu dimana di bawahnya masing – masing dilengkapi dengan beruk. Sedangkan untuk gongnya dilengkapi dengan sebuah labu besar (waluh) yang isinya telah dikeluarkan. Disamping itu untuk kelengkapannya dibuat lagi Suling, Kendang, Cengceng, dll, maka jadilah seperangkat (satu barung) “Gong Beruk”.
Yang kekal adalah perubahan, jaman berkembang terus. Mungkin untuk mendapatkan suara yang lebih keras, alunannya panjang (gemanya panjang), entah sejak kapan, bilah – bilah kayu terompong beruk diganti dengan besi yang diwarisis sampai sekarang.
II. Banjar Bangle
Keberadaan salah satu Gong Beruk di Bali Timur yang masih dipelihara sampai sekarang adalah Gong Beruk di Banjar Bangle, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Banjar Bangle terletak di bawah sebelah utara Pura Lempuyang luhur. Banjar ini terletak di perbukitan pada 400 meter di atas permukaan laut dibentengi oleh bukit – bukit yang mengelilingi pemukiman penduduk. Topografi pemukiman penduduk di kemiringan 37 derajat. Mengapa bernama Banjar Bangle?. Menurut ceritra dari beberapa tetua desa secara turun temurun bahwa : Pionir yang pertama kali Ngubu Madasan (bertempat tinggal) di lokasi tersebut adalah satu keluarga dari warga Desa Pakraman Sega. Tempat tinggal yang baru ini agak di lembah Desa Sega arah ke timur laut sekitar 3 kilometer dari Sega. Dalam parum (rapat) desa maka yang bersangkutan diijinkan keluar menyendiri bermukim di satu lokasi, asalkan ia tetap ingat dengan kewajibannya sebagai warga Desa Adat Sega hubungannya dengan ayah – ayah (kewajiban) pada Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Sega. Dalam Bahasa Bali diutarakan sebagai berikut : Baang ia ngele (berikan ia hidup menyendiri). Baang ia ngele, lama – lama menjadi Baang ngele, selanjutnya menjadi Bangle sampai sekarang. Penduduk Banjar Bangle berkembang terus, karena berikutnya banyak juga penduduk mengikuti jejak sang pioner, disamping orang yang pertama datang ke Bangle tersebut beranak pianak, sehingga sekarang penduduk Banjar Bangle telah mencapai 333 kepala keluarga atau 760 jiwa. Mereka hidup rukun, saling bahu membahu, saling tenggang rasa, hidup damai dan tentram. Pemukiman penduduk ditata sedemikian rupa walaupun terletak di lokasi kemiringan, namun perumahan penduduk ditata sedemikian rupa, dibuat banyak gang serta penempatan Tri Mandala disesuaikan dengan Tri Hita Karana. Mata pencaharian penduduk kebanyakan sebagai petani dan peternak, namun ada juga berprofesi sebagai dagang, tukang dan sedikit sekali (hanya dua orang) sebagai guru SD dan dua orang sebagai PNS/Penjaga Sekolah. Demikian sekilas tentang Banjar Bangle.
III. Kisah Lahirnya Gong Beruk di Banjar Bangle
Masyarakat Banjar Bangle sekarang ini mewarisi sebuah Pura yang bernama Pura Pemaksan Bangle. Sudah tentu Pura ini dibangun oleh para leluhur yang sejak awal bermukim di Banjar Bangle. Yang berstana di pura ini adalah Ida Bhatara Bagus Pemaksan, merupakan putra atau manifestasi dari Ida Bhatara Lingsir yang berstana di Pura Puseh Desa Pakraman Sega. Pujawali di Pura Pemaksan Bangle dilaksanakan setiap dua tahun sekali bertepatan dengan Purnamaning sasih Katiga.
Mengungkap sejarah satu kejadian dengan tanpa adanya peninggalan tertulis, kiranya amat sulit apalagi hanya mengandalkan ceritra masyarakat secara turun temurun. Namun demikian khusus tentang kisah lahirnya Gong Beruk di Banjar Bangle ini, walaupun tidak ada peninggalan tertulis, kisah dari para tokoh masyarakat atau para tetua yang dapat dipercaya bahwa mereka menerima ceritera dari para pendahulunya secara berkesinambungan sampai sekarang, kiranya kisah tersebut sudah mendekati pada kebenaran. Adalah seorang tokoh tua bernama I Wayan Sanu berkisah, didampingi para tetua lainnya seperti Kelian Banjar Bangle, Jero Mangku Pura Pemaksan Bangle, dll mengisahkan sebagai berikut :
“Dahulu kala setelah Pura Pemaksa Bangle selesai dibangun, maka dilaksanakan Upacara Yadnya yaitu Dewa Yadnya seperti Melaspas, Ngenteg Linggih lanjut Ngaturang Pujawali atau piodalan. Di dalam warga Banjar Bangle melaksanakan Yadnya atau Dewa Yadnya, sudah tentu tidak lepas dengan yang namanya Seni Tari dan Seni Tetabuhan. Untuk mengiringi tari – tari sakral yang dibawa dari Sega, belum ada gamelan. Kebetulan ada salah seorang warga yang memiliki darah seni, memiliki sebuah Terompong Beruk yang dipakai hiburan disaat ia telah selesai melaksanakan kegiatan sehari – hari sebagai petani. Terompong beruk ini dipinjam oleh para prajuru Pura Pemaksan Bangle di boyong ke Pura. Secara sepontanitas dilengakapi lagi dengan Suling, Kendang, memakai dua ruas bambu yang dipukulkan pada tanah, rincik atau cengcengnya dipakai besi rusak – rusakan singkal dan kejen (alat membajar tradisional), sehingga jadilah satu perangkat gamelan yang sangat sederhana namun sangat bermakna untuk mengiringi tarian – tarian wali atau tarian sakral yang dipersembahkan guna melengkapi Yadnya yang digelar.
Mengingat demikian pentingnya satu perangkat gamelan, sedangkan untuk membeli seperangkat gong yang harganya demikian tinggi, sudah tentu masyarakat Bangle yang kebanyakan hidupnya pas-pasan, tidak mampu. Maka setelah selesai melaksanakan Yadnya di Pura Pemaksan Bangle, beberapa bulan berikutnya, para panglisir Banjar Bangle merembug dengan para prajuru pura, untuk pembuatan satu perangkat (barung) gamelan, tiada lain adalah gamelan gong beruk. Mengapa dikatakan Gong Beruk, karena terompong beruk satu – satunya perangkat gamelan yang ada dilengkapi lagi dengan Gangsa, Curing, Jublag, Jegog, semuanya dari bilah – bilah kayu lengkap dengan beruk dimasing – masing bilah kayu tersebut. Sedangkan gongnya dibuat dari bilah bambu petung atau kayu lekukun sedangkan pelawah dibawahnya dipakai sebuah waluh (labu) besar agar menghasilkan suara yang mengalun (bergema panjang). Cengcengnya dibuat dari besi bekas singkal dan kejen yang telah rusak (alat membajak tradisional). Jadilah seperangkat Gong Beruk, yang sangat berguna untuk dipakai mengiringi tarian wali atau tarian sakral di saat melaksanakan upacara Dewa Yadnya di Pura Pemaksan Bangle, dan Gong Beruk ini merupakan satu keharusan di tabuh di Pura Pemaksan Bangle disaat Pujawali atau Piodalan, walaupun di Banjar Bangle sejak puluhan tahun yang lalu telah mampu membeli seperangkat (satu barung) Gong Kebyar yang lengkap. Demikianlah sekelumit kisah lahirnya Gong Beruk di Banjar Bangle.
IV. Menikmati Alunan Gong Beruk di Banjar Bangle
Apabila bertepatan dengan Puranamaning sasih Katiga, bulan bersinar demikian redup, disaat masyarakat berjalan menuju Pura turun dari bebukitan menelusuri jalan setapak maka dikejauhan sayup – sayup terdengar gending – gending tabuh gong beruk, sungguh sangat berkesan di hati masing – masing warga. Mereka seolah – olah dipanggil agar sesegeranya tiba di Pura Pemaksan Bangle guna bersama – sama menghaturkan bhakti kehadirat Tuhan Maha Pencipta. Adapun beberapa tabuh Gong beruk namanya demikian khas. Tabuh Gong beruk seperti : Tabuh Gelagah Manis, Tabuh Nem Cenik, Tabuh Nem Gede, Tabuh Kutus Cenik, Tabuh Kutus Gede. Adapun untuk mengiringi tari – tari wali yang disakralkan seperti tabuh Pendet, tabuh gandrung, tabuh Legong Sambeh Bintang, tabuh Rejang Lilit, dan tabuh Igel Desa.
Pementasan tari – tari wali atau tari sakral tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jero Mangku melakukan kegiatan Pabersihan Pryascita.
2. Setelah upacara Pabersihan Prayascita selesai maka para Teruni Kerandan menghaturkan tari ngaturang Canang pamendak.
3. Selesai ngaturang Canang Pamendak maka dilanjutkan dengan ngaturang sasolahan Papendetan yang dilakukan oleh para Kerandan Putra.
4. Jero Mangku akhirnya melaksanakan kegiatan Nganteb Bhakti / Yadnya setelah sasolahan Papendetan Remaja Putra berakhir. Dalam acara ini para pemedek duduk tertib karena dilanjutkan dengan acara pamuspayan lanjut nunas Wangsuh Pada.
5. Tari Gandrung (ditarikan oleh laki – laki) digelar setelah selesai nunas wangsuh pada Ida Bhatara. Tari gandrung ditarikan oleh dua orang laki – laki, lengkap dengan acara mendaulat pengibing.
6. Tari Legong Sambeh Bintang digelar setelah tari Gandrung berakhir. Tari ini dilakoni para remaja putri bersama istri – istri tiap kepala keluarga pengemong Pura Pemaksan Bangle.
7. Tari Rejang Lilit merupakan tarian yang digelar berikutnya, ditarikan oleh para kerandan bersama para istri tiap keluarga. Tarian ini berputar – putar sesuai dengan namanya Rejang Lilit, berputar mengitari pelataran Pura tiga kali.
8. Pada saat akan menyineban, sebelum Ida Bhatara katuran masineb, digelar lagi tarian Igel Desa yang ditarikan oleh para kepala keluarga warga Banjar Bangle tanpa kecuali.
Demikianlah seluruh rentetan pelaksanaan tari – tarian sakral mengiringi pelaksanaan Yadnya yang dilaksanakan di Pura Pemaksan Bangle. Semuanya ini masih utuh sampai saat ini karena dipelihara, diwariskan secara turun temurun berkesinambungan. Demikian pula Gong Beruk yang ada tidak akan sirna atau hilang karena diwariskan tetap ajeg guna mengiringi segala tarian sakral di atas.
Pada mulanya keberadaan Gong Beruk hanya dikenal disekitar Banjar Bangle saja, bahkan ada orang yang bermukim dekat Banjar Bangle seperti Banjar Banyuning, Lean, Aas, dan Batukeseni, tidak mengenal adanya Gong Beruk di Bangle. Pada tahun 1979, Pesta Kesenian Bali di gelar untuk kedua kalinya. Pemerintah Kabupaten Karangasem diminta oleh Propinsi Bali atau Panitia PKB untuk menampilkan Gong Beruk. Panitia PKB Kabupaten Karangasem kelimpungan, di mana gerangan mencari Gong Beruk yang masih aktif. Syukurlah, salah seorang Panitia yang juga pegawai kantor Pemkab Karangasem berjumpa dengan Kepala SD Negeri 4 Bunutan yaitu Ida Made Giur Dipta dari Culik yang sangat getol mengungkap tentang seni – seni sakral di Mass Media. Akhirnya gayung bersambut, sekaa Gong Beruk Banjar Bangle tampil pertama kalinya di PKB bertaraf Propinsi. Karena keterbatasan biaya saat itu, uang makan tidak dibagikan, para sekaa agar membawa bekal sendiri, sedangkan uang makan dibelikan udeng batik, saput selem, lagi – lagi karena kekurangan biaya maka oncer keris yang disungklit memakai ambu/daun enau yang masih muda, dimana makna dari ambu ini sempat ditanyakan oleh wartawan RRI saat itu, mengapa memakai ambu tidak kain saja yang indah. Maka dijelaskanlah makna dari ambu yang demikian dalam di mana seorang Resi setelah wafat di tengah hutan digotong dengan ambu oleh para sisianya dan akhirnya arwah Sang Resi mencapai nirwana karena kesahajaannya. Itulah sebabnya sampai sekarang kalau ada Tirta Pangentas yang utama pasti diikat dengan ambu pada priuk tempat tirtanya. Mulai tahun itu akhirnya Gong Beruk dikenal oleh masyarakat berkat pemberitaan di Mass Media. Mulai saat itu pula Gong Beruk di Banjar Bangle sering dipentaskan dalam acara kegiatan baik di Kabupaten Karangasem maupun di Propinsi Bali. Perhatian Pemerintah baik Kabupeten maupun Propinsi demikian besar mulai saat itu. Sekaa Gong Beruk sering mendapatkan bantuan pembinaan dan juga biaya pemeliharaan Gong Beruk. Sekarang perangkat Gong Beruk telah berukir.
V. Penutup
Kita sebagai umat Hindu dan kita sebagai pewaris Seni Budaya sakral sudah pada tempatnya berterima kasih dan bersyukur karena keberadaan Gong Beruk di Banjar Bangle tidak akan sirna atau lenyap dimakan jaman karena telah dikaitkan dengan pelaksanaan Yadnya di Pura Pemaksan Bangle. Namun kita umat Hindu, sudah pada tempatnya turut serta berpartisifasi menjaga dan melestarikan warisan seni budaya yang adhi luhung dengan berbagai cara sesuai dengan profesi kita masing – masing, agar seluruh warisan seni budaya tidak sirna dimakan jaman. Semoga ajakan ini menyentuh hati para pencinta seni, penikmat seni dan juga masyarakat Bali secara keseluruhan.
Semoga.
S e l e s a i
Penyusun
Ida Made Giur Dipta
Jika Sobat menyukai Artikel di blog ini, Silahkan masukan alamat email sobat pada kotak dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Sobat akan mendapat kiriman artikel terbaru dari Media Pendidik dan Pendidikan