Pemilihan dan penetapan seorang Pamangku yang akan ditugaskan di suatu pura pada umumnya diambil dari para penyungsung pura yang bersangkutan. Tata cara pemilihan dan penetapan Pamangku tersebut antara satu pura dengan pura yang lain tidak selalu sama. Ada beberapa cara yang ditempuh dalam memilih dan menetapkan Pamangku tersebut, antara lain :
1. Ditetapkan berdasarkan keturunan dari Pamangku sebelumnya.
2. Melalui pemilihan.
3. Dengan cara nyanjan atau metuwun.
4. Dengan cara lekesan atau sekar
Dalam pemilihan dan penetapan Pamangku tersebut, cara yang manapun yang ditempuh pada dasarnya unsur ketulusan, dan kesepakatan diantara para penyungsung pura itu sangat menentukan dan perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi sengketa yang menyangkut Kepamangkuan tersebut. Oleh karena Pamangku dalam tugasnya sehari-hari di pura sangat erat kaitannya dengan hal-hal yang disucikan, sehingga perlu di dukung dengan sikap yang tulus ikhlas berlandaskan yadnya, antara yang ditugaskan sebagai Pamangku maupun yang memilih atau yang akan menggunakannya. Dengan landasan ketulusan hati itu akan dapat mendukung kemantapan pelaksanaan tugasnya nanti.
Tata cara yang ditempuh dalam pemilihan dan penetapan Pamangku tersebut dilaksanakan sebagai berikut :
1. Ditetapkan berdasarkan keturunan
Penetapan Pamangku yang menempuh cara berdasarkan keturunan umumnya tidak banyak mengalami hambatan. Oleh karena para keturunan dari Pamangku sebelumnya telah menyadari dirinya, pada waktunya nanti patut melanjutkan pengabdian leluhurnya / orang tuanya untuk ngayah di pura sebagai Pamangku.
Pelaksanaan penggantian Pamanggu berdasarkan keturunan bilamana Mangku yang sebelumnya tlah meninggal atau tidak dapat melaksanakan tugasnya lagi karena sakit atau sebab lainnya. Bilamana diantara para keturunan Mangku yang bertugas sebelumnya telah ada yang memenuhi syarat, seperti umur yang sudah cukup dewasa, tempat tugas atau bekerjanya masih memungkinkan, biasanya segera dapat dilakukan penggantian untuk mengisi kekosongan.
Bilamana keturunan Pamangku itu lebih dari satu orang maka yang bertugas menggantikan orang tuanya berlaku sesuai dengan dresta setempat. Ada yang mentradisikan anak tertua atau anak yang termuda yang menggantikan tugas dan kewajiban orang tuanya. Ada pula yang memberi kebebasan salah seorang diantara keturunan yang bersedia dan dipandang cukup memenuhi syarat. Hal itu sepenuhnya diatur berdasarkan kebiasaan setempat.
Sebaliknya bilamana karena satu keadaan Pamangku yang patut digantikan itu tidak mempunyai keturunan atau karena keturunannya tidak ada yang berdomisili di desa dekat dengan pura tempatnya bertugas, maka yang menggantikan nantinya dapat ditunjuk salah seorang dari keluarga terdekat.
Kebaikan cara ini adalah proses penggantian dan regenerasi Pamangku itu akan berjalan secara alami tanpa banyak menggoncangkan. Disamping itu keturunannyapun yang akan bertugas menggantikan tugas orang tuanya pada umumnya sudah memiliki kesiapan mental untuk itu. Oleh karena sudah disadari berdasarkan dresta / tradisi pada waktunya nanti si anak akan melanjutkan tugas orang tuanya.
Perubahan tradisi dari pemilihan dan penetapan Pamangku berdasarkan keturunan kepada cara lain mungkin saja terjadi, tergantung kepada kesepakatan krama pura atau penyungsung pura yang bersangkutan.
2. Melalui pemilihan
Tata cara pemilihan secara langsung oleh penyungsung pura dilakukan dengan cara memilih Pamangku berdasarkan kesepakatan bersama dari para penyungsung pura itu. Wujud kesepakatan bersama itu tidak perlu ditunjukkan dengan suara terbanyak seperti pada pemilihan Kepala Desa misalnya. Oleh karena dengan cara itu tidak mencerminkan ketulusan, yang mengantarkan kepada kemantapan perasaan untuk nantinya menugaskan / memakai Pamangku tersebut. Sejauh yang dapat diusahakan sebaiknya dihindari pemilihan dengan memakai cara pemungutan suara.
Pemilihan tingkat awal cukup dilaksanakan oleh para prajuru atau pengurus pura untuk meneliti dan melaksanakan semacam seleksi memilih orang-orang diantara para penyungsung yang dipandang paling memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas menjadi Pamangku.
Syarat utama yang perlu diperhatikan umumnya menyangkut masalah kepribadian yang baik dari calon yang akan ditampilkan. Patut dihindarkan memilih orang yang berkepribadian pemarah, pemabuk, rakus, dan kepribadian yang kurang baik lainnya. Demikian pula diusahakan agar calon Pamangku tersebut bersifat netral terhadap semua penyungsung pura. Hal itu sangat penting karena bila dikaitkan dengan tugas Pamangku untuk ngeloka parasraya yaitu sebagai sandaran umat di dunia ini dalam melayani kegiatan yang berhubungan dengan yadnya, Pamangku patut membantu dan melayani semua umat yang membutuhkan secara adil, tidak bersifat membeda-bedakan.
Setelah calon berhasil diperoleh sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan, pengurus pura menyampaikan kepada rapat krama pura guna dimintakan kesepakatannya. Sudah tentu yang bersangkutan juga perlu didengarkan kesediaannya, agar nantinya setelah bertugas tidak didorong oleh perasaan terpaksa. Bilamana diantara krama pura masih ada satu dua orang yang belum sepakat, hendaknya prajuru (pengurus) pura itu dapat memberikan penjelasan dan pendekatan yang sebaik-baiknya sehingga berhasil dicapai kesepakatan yang dilandasi rasa gilik saguluk. Setelah diperoleh kesepakatan yang dilandasi ketulusan, untuk melaksanakan upacara pawintenannya tinggal mencari hari baik. Sering dipilih hari yang baik itu adalah bertepatan dengan hari piodalan di pura yang bersangkutan. Pada saat itu dimohonkan penyucian dan sekaligus persaksian untuk upacara pawintenan Pamangku yang baru itu. Dapat juga dipilih hari lain yang dipandang tepat, tergantung kesepakatan diantara krama pura yang bersangkutan serta petunjuk dari Sulinggih yang akan melaksanakan pawintenannya.
Dengan cara pemilihan secara langsung seperti itu memang tidak luput dari segi baik dan lemahnya. Segi baiknya, sudah tentu Pamangku yang dipilih dan ditetapkan itu didasarkan atas kesepakatan bersama dan dapat dipilih orang yang dipandang paling memenuhi syarat. Kelemahannya sering menjumpai kesulitan mencari calon yang betul-betul bersedia dan juga didukung oleh seluruh penyungsung pura yang bersangkutan.
3. Dengan cara nyanjan atau matuwun
Pelaksanaan nganjan ini umumnya dilaksanakan di pura, dengan mengundang seorang Mangku Lancuban yang berasal dari luar desa. Setelah dilaksanakan atur piuning dengan upacara pejati secukupnya serta kelengkapan upakara yang disiapkan di depan Mangku Lancuban atau Balian Ketakson, mulailah dilakukan pemujaan dan persembahyangan bersama. Dalam keadaan kerawuhan, Mangku Lancuban atau Balian Ketakson itu akan menyebut nama seorang yang dipilih untuk menjadi Pamangku. Pelaksanaan upacara nyanjan akan dianggap berhasil bilamana yang ditunjuk oleh Mangku Lancuban atau Balian Ketakson itu telah cukup meyakinkan seluruh krama pura yang bersangkutan.bilamana dianggap kurang tepat dan ssuai, nyanjan biasanya dapat diulang kembali dengan menghadirkan Mangku Lancuban atau Balian Ketakson yang lain.
Pemilihan Pamangku dengan cara nyanjan atau matuwun itu paling umum dilaksanakan setelah cara pemilihan berdasarkan keturunan. Dengan cara nyanjan serupa itu biasanya baik yang ditunjuk maupun anggota krama pura tidak ada yang berani menolak dan dapat menerima dengan keyakinan yang tulus.
4. Dengan cara membagikan lekesan atau sekar
Cara seperti itu lebih mendekati seperti undian yang dilakukan secara tradisional. Caranya adalah dengan jalan membagikan lekesan yaitu daun sirih yang digulung sedemikian rupa, dimana salah satu diantaranya ada yang diisi tanda tertentu yang menunjukkan bahwa barang siapa yang memperolehnya, dialah yang akan ditetapkan sebagai Pamangku. Jumlah lekesan itu dibuat sebanyak jumlah anggita / krama pura yang bersangkutan. Tanda yang diberikan pada lekesan itu bisa berupa bunga tertentu (sekar) bisa pula dengan tanda lain. Setelah seluruh anggota krama pura mendapat bagian lekesan yang telah diacak, dengan disaksikan oleh pengurus pura yang bersangkutan lekesan tersebut dibuka, sehingga akan tampak diantaranya yang ketiban tanda yang tertentu itu. Sebelum dilaksanakan cara tersebut terlebih dahulu telah disepakati bahwa barang siapa yang kebetulan kebagian, tidak boleh menolak sehingga pelaksanaan cara ini akan dapat berjalan dengan lancar.
Melalui cara ini tidak dapat ditentukan sebelumnya siapa yang akan terpilih, karena pelaksanaannya dilakukan secara bebas dan rahasia. Mungkin saja terjadi orang yang kebagian, adalah orang yang tidak bersedia, namun karena aturan yang telah mengikat yang bersangkutan tidak dapat menolak. Cara ini sering dilakukan bilamana pemilihan dan penetapan pemangku dengan cara yang lain tidak berhasil dilaksanakan, sehingga dipandang perlu untuk melaksanakan cara yang dipandang paling adil itu.
Jika Sobat menyukai Artikel di blog ini, Silahkan masukan alamat email sobat pada kotak dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Sobat akan mendapat kiriman artikel terbaru dari Media Pendidik dan Pendidikan