Judul : Layar Terkembang
Penulis : St. Takdir Alisjahbana
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 37 Jakarta, 2005
Tebal : 166 halaman
Pintu yang berta itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam gedung akuarium. Keduanya berpakaian cara barat, yang tua dahulu sekali masuk memakai jurk tobralko putih bersahaja yang berbunga biru kecil – kecil, bersanggul model sala, berat bergantung pada kuduknya. Yang muda, yang lena mengiringi dari belakang memakai rok pual sutra yang coklat warnanya serta belus pual sutra yang kekuning – kuningan. tangan belus itu yang panjang terbuat dari georgette yang halus berkerut – kerut, mengembang dipergelangan tangan, sangat manis rupanya. Rambutnya yang lebat dan amat terjaga, teranyam berbelit – belit bergulung merupakan dua sanggul yang permai.
Tuti dan Maria adalah nama dua orang gadis kakak beradik yang sama manisnya, cantiknya, anak dari Raden Wiriaatmaja bekas wedana di daerah Banten yang pada ketika itu hidup dengan pensiunannya di Jakarta bersama kedua anaknya itu, namun kedua gadis itu berbeda dalam bertingkah laku, kepribadiannya, dan pekertinya. Tuti adalah seorang guru pada Sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo, dan sedangkan Maria masih murid H.B.S. Carpentier Alting Stichting kelas penghabisan. Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebab itu ia jarang memuji. Tentang apa saja ia mempunyai puikiran dan pemandangan sendiri.dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasrkan pertimbangan yang di sokong oleh keyakinan yang pasti. Jarang benar ia hendak lumbar – melumbar, turt – menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai dengan kata hatinya. sebaliknya Maria adalah seseorang yang mudah kagum , yang mudah memuji dan memuja. Sebelumnya selesai benar ia berpikir, ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang bergelora, baik waktu kegirangan maupun kedudukan. Air mata dan gelak berselisih di mukanya sebagai siang dan malam. Sebentar ia iba semesra – mesranya dan sebentar berderau gelaknya yang segar oleh kegirangan hatinya yang remaja. Tetapi perbedaan sifat dan pekerti yang sebagai siang dan malam itu, tiadalah berapa merenggakan tak ilahi yang telah memperhubungkan orang berdua beradik itu. Perbedaan kepribadian dan karakteristik yang dimilikinya membuat orang jadi tertarik.
Hari- hari yang dilalui oleh kakak beradik ini begitu indah dan seakan – akan tak ada masalah yang mengganjal dihatinya masing – masing. Ketika pertemuan pertama mereka dengan seorang pemuda di gedung akuarium itu, semakin menambah gembira suasana hati mereka terutama bagi Maria. Pemuda tidak lain bernama Yusuf, putra dari Demang Munaf di Martapura di Sumatra Selatan, yang sedang menuntut ilmu di Jakarta, yakni telah hampir lima tahun ia belajar pada Sekolah Tabib Tinggi. Tuti yang mempunyai sifat acuh ternyata tak peduli dengan apa yang terjadi. Sedangkan Maria yang mempunyai sikap lincah, periang mampu menarik simpati Yusuf. Hari demi hari telah dilalui persahabatan diantara mereka semakin erat dan akrab. Semakin hari semakin seringlah mereka bertemu.
Ketika matahari hampir tenggelam Tuti dan Maria hendak pulang dari sekolahnya tanpa sengaja merekakembali bertemu dengan Yusuf yang kemudian pada akhirnya hendak menawarkan jasanya mengantarkan Tuti dan Maria ke rumahnya. Hal itupun tidak ditolak oleh kedua gadis itu. Hal itu merupakan kesempatan bagi Yusuf untuk memperkenalkan dirinya kepada orang tua Tuti dan Maria. Raden Wiriaatmaja tidak merasa janggal dengan perkenalan itu karena ia memberi kebebasan yang sebesar – besarnya kepada anaknya.
Pasa suatu saat diadakan jamuan makan keluarga di rumah raden Wiriaatmaja, saat itu paman Tuti dan Maria yakni Raden Parta Diharja (Parta) ikut serta dalam jamuan makan itu, begitu pula halnya dengan Yusuf. Parta yang penuh humor selalu mengangankan agar Tuti keponakannya yang sulung itu dapat dengan segera menikah. Tetapi Tuti yang begitu sibuk dengan organisasinya di daerah seakan – akan ia patah harapan untuk berumah tangga. apalagi setelah gagal dalam hubungan asmara dengan Supomo.
Tidaklah halnya dengan Maria, Maria yang semakin hari semakin akrab dengan Yusuf. Sampailah tiba saatnya liburan bagi Yusuf. Yusuf dan Maria berpisah untuk sementara waktu karena Yusuf hendak menengok orang tuanya di Martapura. disana ia hanya tinggal dengan orang tuanya dan hanya tinggal beberapa hari, karena perasaannya selalu gelisah. bayangan Maria selalu hadir dan seakan – akan menari – nari di pelupuk matanya. Apalagi setelah dua kali ditemukannya surat Maria di kotak post di daerahnya yang menggambarkannya Maria seakan – akan telah berada di Bandung untuk menemui kekasihnya. Setibanya di Bandung dtemukannya Maria baru bangun dari tidurnya, saat itu pula Maria memperkenalkan Yusuf dengan Rukamayah saudara sepupunya, percakapan begitu lama berlangsung dan diantaranya telah pulang, sebelum mereka pulang, mereka saling memperkenalkan diri. Setelah mereka saling kenal Maria mengajak Yusuf sarapan bersama keluarga. Saat itu, Yusuf termenung menghanyutkan dirinya tiada tertahan – tahan.
Untuk menghapuskan kegelisahannya, Maria mengajak Yusuf pergi berjalan – jalan puncak yang letaknya tdak jauh dari tempat tinggalnya. Dalam perjalanan mereka saling mencurahkan isi hatinya, ibarat kata sepasang merpati yang sedang bercengkrama dan saling mengukir janji diantara mereka. Sekaliannya indah dan permai seperti biasanya di tengah alam yang indah dan permai seperti biasa pula bujuk dan cumbu asyik masuk muda remaja berdua dalam limpahan perasaan cinta pertama yang penuh dengan harapan janji suci.
Kemudian Maria menceritakan keinginannya kepada Tuti untuk mendampingi istri Yusuf atau berjanji untuk menjadi istrinya Yusuf di kemudian hari. Kepada Tuti dan Rukamah nyata benar kelihatan perubahan pekerti Maria dalam waktu yang akhir ini. Percakapannya tentang Yusuf saja. Rukamah suka benar mengganggu saudara sepupunya itu. Meskipun seing juga Tuti turut tertawa mempermain – mainkan adiknya itu, tetapi biasanya tiadalah banyak katanya. Baginya Maria dalam keadaan mabuk asmara itu menjadi suatu soal yang sangat menarik hatinya dan hendak dipelajarinya. Selang beberapa hari terjadilah perdebatan mulut antara Tuti dengan Maria, mengenai Maria yang menyerahkan segalanya untuk Yusuf, dan juga mengenai omongan Tuti yang berkata terlampau engkau nyatakan bahwa hidupmu amat bergantung kepadanya, bahwa engkau tidak dapat hidup lagi kalau tiada dengan dia. Sifat perempuan yang demikian itulah yang menyebabkan maka kedudukan perempuan sangat nista dalam perkawinan. “Ah, engkau hendak mengatur – atur orang pula. Saya cinta kepadanya. Biarlah saya mati dari pada bercerai dari dia”. Jawab Maria dengan tegas mematahkan segala perkataan kakanya yang menyakitkan hatinya yang masih luka itu.
“Engkau rupanya tiada dapat diajak berbicara lagi”, kata Tuti yang sangat marah mendengar jawaban Maria. Seolah belum puas hatinya menjawab kakaknya yang mencela cintanya kepada kekasihnya Yusuf, “Cinta engkau barangkali cinta perdagangan, baik dan buruk ditimbang sampai semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit. Patutlah pertunanganmu dengan Hambali dahulu putus”. Muka Tuti merah sampai ketelinganya mendengar kata Maria yang pedas itu. Tuti kembali ketempat duduknya, tetapi dari mulutnya masih keluar ucapan yang marah dan kesal, “orang hendak memberi nasihat yang baik kepadanya tidak membalas guna maumulah. Engkau tidak usah memperdulikan urusan saya! saya tidak minta nasihatmu!”jawab Maria galak melawan. Rukamahpun segera berulang – ulang menyabarkan hati Tuti sudahlah, sudahlah. Tapi untunglah suasana perdebatan mulut itu dapat didinginkan oleh saudara sepupunya itu.
Sejak kejadian itu suasana menjadi berbah, Maria lebih dianggapnya sebagai pengganti almarhum ibunya. Sedangkan Tuti yang telah mengerti persoalan adiknya, kemudian merestui kembali hubungan cinta antara Maria dan Yusuf. Hal itu dilakukannya mengingat akan penyakit yang diderita oleh adiknya. Tuti khawatir kalau – kalau penyakit adiknya kumat lagi.
Masa liburan Tuti dan Maria telah usai, maka ia meninggalkan Bandung menuju Jakarta. Sudah barang tentu diantar pula oleh Yusuf yang amat setia menanti dan menunggi kekasihnya seraya lalu mendampinginya untuk berkreasi atau kegiatan lainnya.
Tetapi malang datang menghampiri mereka, karena tidak lama kemudian demam malaria, Maria mulai kambuh. Maria terbaring di tempat tidur di dalam kamarnya, kondisinya yang letih hampir tiada bergerak – gerak demam malaria sepuluh hari amat mengurus dan memucat mukanya. Hal inpun sudah dapat diduga sebelumnya oleh Tuti. Tak lama kemudian Yusuf datang serta perubahan pada diri Maria, akan tetapi semuanya itu sia – sia. Keadaan Maria semakin hari semakin memburuk. Hal ini tidaklah menggoyahkan bagi Yusuf, apalagi setelah diketahui bahwa Maria menderita penyakit yang amat berat karena menyangkut sistem pernafasan, apalagi penyakit malaria yang sangat melemahkan badannya rupanya memberi kesempatan kepada penyakit TBC yang sudah lama dikandungnya dalam badannya untuk memecah keluar. Kepada Yusuf diberi dokter itu nasihat selekas – selekasnya membawa Maria ke rumah sakit supaya disana dapat diperiksa dan diobati selanjutnya.
Akhirnya Maria di rawat di CBZ (Rumah Sakit Umum Pusat) karena penyakit malarianya itu disertai dengan batuk darah yang tiba – tiba memecah keluar. Kemudian dokte memutuskan untuk memindahkan tempat Maria ke daerah paket yaitu daerah yang terletak di tengah – tengah pegunungan yang sejuk hawanya.
Sunyi, sepi, hari berganti – hari, matahari semakin jauh merapatkan diri kakinya yang bara. Sudah sebulan lamanya Maria tinggal disana dan bertambah mendalam terasa kepada Maria kemalangannya, terkurung tidak dapat melepaskannya untuk bermain – main keluar maka tiada patahkah ia menahan hatinya menetralkan perasaannya kepada kekasihnya dan kemudian mengambil kertas untuk menulis surat kepada Yusuf.
Yusufku,
Meskipun surat saya yang dahulu belum lagi engkau balas, tetapi hari ini saya tiada dapat menahan hati saya mencurahkan perasaan saya kepadamu.
Aduhai kekasihku, semua keindahan kemana sekalipun kita memandangkan mata. Permai – permainan awan di lereng dan di puncak gunung yang meninjau ke langit, permai pemandangan ke sawah yang menghijau bertingkat – tingkat di bawah, tiap – tiap hari lain, selalu berubah, tetapi tiap- tiap kali indah. Disini segala luar biasa seolah – oleh ada kekuatan yang luar biasa tersembunyi di tanah tempat – tempat tumbuh – tumbuhan yang permai itu membenamkan akarnya.
Alangkah nikmatnya orang yang hidup disini dan mewah saya rasanya selama – lamanya di janat dunia. Oh, Yusuf, mengapakah dalam waktu yang akhir ini amat sering memikirkan mati mungkinkah saya sembuh lagi? Dalam beberapa hari yang kemudian ini saya acap memimpikan mendiang bunda. Ngeri saya mengenangkan, bahwa penyakit serupa saya inilah yang membawa mautnya dahulu. Ada saya mendenga kata orang, bahwa seseorang yang sering memimpikan orang yang sudah mati, dipanggil oleh orang yang telah meninggal itu. Dan kalau tiada boleh tidak saya akan mati oleh penyakit ini, Yusuf, kekasihku relalah saya menutup mata di tengah kepermaian alam ini.
Wahai alangkah permainya dan nikmatnya hidup di dunia ini! Yusuf, engkau harus menolong saya melepaskan diri dari penyakit ini. Sebab saya masih hendak hidup. Belumlah sampai hati saya hendak meninggalkan engkau, kekasihku. Engkau tiada tahu berapa besar cinta saya kepadamu!
Wahai nasib, kadang – kadang rasa kepada saya, laksana diri saya sebagai orang yang lemah berkayuh melawan arus yang kuat. Tetapi saya akan berkayuh, akan berkayuh sampai habis tenaga saya dan engkau harus membantu.
Betapa terharunya hati Yusuf dengan isi surat itu dan permintaan Maria kepada Tuti dan Yusuf untuk sering mengujunginya. Sementara itu penyakit Maria tiada berangsur – angsur sembuh hati Tuti dan Yusuf semakin terpukul, mereka semakin yakin bahwa meraka tidak dapat lagi mengharapkan lagi Maria. Apalagi setelah Maria mengeluarkan amanatnya yang terakhir, agar antara Tuti dan kekasihnya harus bersatu, karena ia tidak menginginkan mereka masing – masing mencari pertunangan dengan orang lain. Tidak lama kemudian juru rawat mensyaratkan bahwa waktu berkunjung telah usai.
Maka dalam senjaraya yang sejuk itu berjalanlah orang berdua itu dengan tiada bercakap – cakap barang sepatah juapun. Yusuf dan Tuti terus berjalan menurun ke bawah menuju auto yang akan membawa mereka kembali ke Sindang laya. Berbagai – bagai pikiran dan perasaan mengacau jiwa meraka. Waktu terus dan terus berjalan, keritik gugur ke bumi dan pucuk muda memecah di ujung jalan. Hari masih pagi – pagi dan di pekuburan dekat Pacet tiada jauh dari rumah sakit, sunyi senyap. Tempat manusia melepaskan lelahnya sesudah perjuangan hidupnya itu, ketika itu sebenarnya tempat beristirahat yang sunyi dan aman. Tak ada suatu bunyi ataupun suara yang ganjil yang mengusik ketenangan yang mulia dan kudus itu. Tiba di muka pekuburan berhenti Taxi itu dan keluar mereka yaitu Tuti dan Yusuf. Tuti membawa bunga karangan putih di tangan kanannya. Pada batu nisan pualam putih yang berukir tepinya, tertulis dengan air emas yang berkilat – kilat :
Maria berpulang ....Januari 193 ..... Usia 22 tahun.
Tuti dan Yusuf telah kehilangan seseorang yang mereka kasihi bersama. Sepeninggal Maria, Tuti merasakan bahwa Yusuf dapat diciantainya dengan tulus, demikian pula cinta Yusuf pada Tuti. Sekarang Tuti merasa yakin bahwa Yusuf adalah calon suaminya.
T A M A T
KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN
Keunggulannya :
? Dilihat dari segi isi
Novel ini isi atau jalan ceritanya sangat menarik dan bisa membuat si pembaca terhanyut dalam isi cerita tersebut.
? Dilihat dari segi bahasanya
Isi novel ini memang banyak terdapat kata – kata yang sulit dipahami namun isi dari bahasanya itu terkandung kata – kata mutiara
? Dilihat dari segi etika
Novel ini banyak berisi nilai etika yang mendidik bagi para pemuda dan pemudi pada jaman sekarang
? Dilihat dari segi moral
Dalam mencintai seseorang kita harus sepenuh hati dan selalu setia meskipun maut telah menjemput dan dalam isi cerita di novel ini mengajarkan kita bahwa dalam hidup melakukan sesuatu ataupun bertindak perlu dipertimbangkan namun dalam urusan cinta janganlah pernah menganggap cinta itu perdagangan, baik dan buruk sampai semiligram, yang tidak mau rugi walaupun hanya sedikit.
Kelemahannya :
Banyak terdapat kata – kata yang sulit dipahami, ada beberapa kata yang salah dalam penulisan.
KESIMPULAN
Dalam novel ini diceritakan, cerita yang walaupun dari awal kurang menarik namun akhir – akhir ceritanya bisa menghanyutkan hati. Kata – kata dalam novel ini banyak yang sulit dimengerti dan dipahami.
Namun novel ini sangat baik untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari – hari, baik itu dalam hubungan cinta ataupun bersosialisasi. Dalam novel ini ada beberapa kalimat yang agak janggal, sehingga sulit untuk dimengerti kalimat tersebut.
Jika Sobat menyukai Artikel di blog ini, Silahkan masukan alamat email sobat pada kotak dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Sobat akan mendapat kiriman artikel terbaru dari Media Pendidik dan Pendidikan