Pada dasarnya ada dua jenis cara mengutip sumber bacaan :
1. Kutipan langsung, yaitu kutipan yang langsung mengambil dari sumber bacaan tanpa dialihbahasakan atau dimodifikasi struktur bahasanya tetapi tetap menjadi bagian yang padu dengan teks.
Terdapat dua kutipan langsung, yakni :
1.1 Kutipan pendek langsung, ialah kutipan yang sebanyak – banyaknya terdiri dari 4 baris atau kurang dari 40 kata. Kutipan ini ditulis diantara dua tanda petik rangkap.
Contoh :
Prof. Drs. Suharjo Wojowarsito (1972: 46), berpendapat bahwa : “Kata Ngusabha berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Utsawa yang berarti pesta atau perjamuan”
Contoh lain :
Menurut Dinas Pendidikan Dasar Tingkat I Bali (1996: 477) menyebutkan bahwa : “Upacara artinya eteh – eteh”.
1.2 Kutipan panjang langsung, ialah kutipan yang terdiri lebih dari 4 baris, penulisan kutipan ini terpisah dengan teks dan agak masuk kedalam dengan 5 ketukan dari kiri, jarak 1 spasi serta tanpa petik rangkap.
Contoh :
Sebagaimana dikatakan I Nyoman Nesawan (1987: 77)
Manusia lahir ke dunia ada yang menciptakan yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan diciptakannya, maka manusia mempunyai hutang yang harus dibayar yaitu hutang kepada Tuhan beserta manifestasinya, hutang kepada para Rsi dan hutang kepada roh leluhur. Sebagai realisasi dari pembayaran hutang tersebut maka akan tercipta melalui suatu persembahan yang disebut dengan yadnya. Yadnya artinya “Kurban suci yang tulus ikhlas”.
1.3 Kutipan yang sebagian dihilangkan
Terdapat tiga penulisan dalam pengutipan seperti ini :
1) Apabila dalam mengutip langsung ada kata – kata dalam kalimat dibuang, maka kata – kata yang dibuang diganti dengan tiga titik.
Contoh :
“Upacara artinya perbuatan atau tingkah laku yang baik, adat istiadat tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia ... yang didasarkan atas kaidah hukum yang ajeg“. (Drs. I Ketut Subagiastra, 1996: 7)
2) Bila bagian akhir kalimat yang dibuang, maka diganti dengan empat titik.
Contoh :
Selain di Banjar Adat Merita, Upacara Ngusabha juga terdapat di daerah – daerah lain seperti “Ngusabha Guling dan Ngusabha Taluh di Desa Adat Timbrah, Ngusabha Perahu dan Ngusabha Buyung di Desa Adat Kubu, Ngusabha Dodol di Desa Adat Nangka dan Desa Adat lainnya, Ngusabha Emping dan Ngusabha Goreng di Desa adat Griana (Selat) dan masih banyak lagi yang lainnya ....”. (Drs. Ngurah Oka Supartha, 1990: 20-27)
3) Jika satu kalimat atau lebih yang dibuang, maka diganti dengan titik sepanjang satu baris.
Contoh :
I Gusti Gede Goda, S.Ag (2002: 7), menyatakan bahwa: “Keberhasilan semua upaya itu sangat ditentukan oleh kualitas manusia yang melaksanakannya, dukungan alam dan terutama sangat ditentukan oleh perkenan Tuhan.............................................
................................................................... hendaknya umat mahayu membangun Parhyangan, Pawongan dan Palemahan”.
1.4 Melegalisasi hasil wawancara, adalah dengan menulis hasil wawancara secara padu dalam teks, kemudian nama sumber, tanggal, bulan dan tahun ditulis dalam kurung.
Contoh :
Ngusabha Pencok berasal dari dua kata yaitu Ngusabha dan Pencok. Ngusabha / Usabha berasal dari Bahasa Sansekerta, akar kata Utsawa / Utsava yang dalam bahasa Bali menjadi Usabha atau yang sering kita sebut Ngusabha yang artinya pesta atau perjamuan. Sedangkan Pencok adalah nama sebuah makanan yang sudah kita ketahui bersama terbuat dari tepung yang dikentalkan, biasanya pencok ini kita makan bersama sate, namun dalam upacara Ngusabha Pencok, pencok yang dibuat sebagai sarana upacara bukan disajikan dengan sate namun dengan kacang – kacangan (Palawija / hasil bumi). Berdasarkan pengertian kata tersebut maka Ngusabha Pencok dapat diartikan sebagai pesta / perjamuan atau sebagai upacara untuk mengucap syukur serta rasa terima kasih atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah ( I Gede Tulamben, wawancara: Sabtu 7 Juli 2007)
2. Kutipan tak langsung adalah kutipan yang hanya mengambil inti sari gagasan penulis lain, kemudian dialihbahasakan oleh pengutip sendiri menjadi bagian padu dengan teks.
Contoh :
Menurut W.J.S. Poerwadarmita (1993: 1132), menyebutkan bahwa : upacara artinya peralatan (menurut adat) atau hal untuk melakukan sesuatu perbuatan yang baik dan bersusila menurut adat dan kebiasaan atau menurut agama.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pendidikan Dasar Daerah Tingkat I. 1996. Kamus Bahasa Indonesia Bali.
Goda, I Gusti Gede. 2002. Tri Hita Karana, Konsepsi Masa Lalu Menyongsong Masa Depan Maju Ajeg Lestari.
Nesawan, I Nyoman. 1987. Dewa Yadnya.
Poerwadarmita, W.J.S. 1993. Kamus Umum Bahasa Indonesia Indonesia
Suabagiastra, I Ketut. 1996. Modul Acara Agama.
Supartha, Ngurah Oka Suparta. 1990. Ngusabha Desa. Proyek Peningkatan Prasaran Dan Sarana Kehidupan Beragama Tersebar di 8 (delapan) Kabupaten Daerah Tingkat II
Wojowarsito, Suharjo. 1972. Kamus Kawi Indonesia. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKPSS IKIP Malang.
Jika Sobat menyukai Artikel di blog ini, Silahkan masukan alamat email sobat pada kotak dibawah untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Sobat akan mendapat kiriman artikel terbaru dari Media Pendidik dan Pendidikan